Selasa, 15 Februari 2011

Tetanggaku, Mantanku.

Sudah tiga bulan aku mengontrak dirumah ini. Namun baru kali ini aku sempat memperhatikan lingkungan sekitarku, khususnya diwaktu malam. Rumah kontrakanku berseberangan dengan sebuah rumah sedikit lebih mewah dari rumah sekitarnya, dengan rel kereta api yang menjadi pembatasnya. Tembok dan halaman yang kurang terawat dengan pencahayaan yang remang-remang menjadikan rumah itu agak-agak “horror” bagi yang melintas didepannya.

Malam itu, sepulang dari kantor dan bebenah, aku melihat seseorang keluar dari rumah itu. Seorang lelaki kurus tinggi, dengan kulit warna pucat berbalut kemeja kotak-kotak dan syal, duduk diteras sambil minum secangkir entah kopi atau teh. Tatapan mata kami sempat bertemu, dan, ah …. Aku seperti mengenal orang itu. Tidak salah lagi. Segera kudatangi dia …

“Ini beneran Mas Budi? Ya ampuuuun!” Antara kaget dan gembira aku menyalaminya.

Lelaki itu tersenyum, tapi tidak nampak kaget. Wajahnya biasa saja.

“Apa kabar Mei?”

“Aku .. kabarku baik. Mas tinggal disini tho?”

Lelaki itu hanya mengangguk sambil senyumnya tak pernah lepas menghias wajah pucatnya.

Kamipun berbincang lama diteras rumahnya. Tapi sepertinya aku yang lebih banyak berbicara, lelaki itu hanya sekali-sekali menimpali, dengan senyum tentunya.

Waktu menunjukkan pukul 21.05 saat aku pamit pulang. Malam itu, aku tidak bisa langsung terlelap. Ingatan akan pengalamanku dengannya 6 tahun yang lalu berseliweran dikepalaku. Bisa dibilang, dia itu teman special. Sempat menaruh hati padaku, tapi aku jual mahal.

Setelah peristiwa semalam, beberapa malam kami sempat bertemu dan berbincang, dan selalu aku yang banyak bicara. Sampai pada malam ketujuh, saat aku mendatangi terasnya, tiba-tiba dia pamit sebentar masuk kedalam rumahnya. Aku menunggu diteras sambil memperhatikan keseberang jalan, tempat kontrakanku. Ternyata dari sini terlihat jelas ruang tidurku. Ups… moga-moga aku belum pernah lupa menutup tirai saat berganti pakaian.

Lewat setengah jam, dia belum keluar juga. Aku sudah akan berteriak untuk pamitan saja, tiba-tiba sebuah mobil kijang Inova masuk ke halaman. Dari dalamnya keluar seorang bapak setengah baya, bersama istri dan kedua anaknya. Bapak itu tersenyum kearahku, akupun membalas senyumnya.

“Mari, silahkan masuk!” Sapanya ramah. Aku kikuk.

Istrinya terlihat angkuh, tanpa senyum dia mengambil kunci dan membuka rumah tersebut. Mereka semua masuk kedalam.

“Mari, silahkan menunggu didalam saja” Bapak itu kembali menawariku.

Akupun masuk ke dalam rumah itu. Ini pertama kalinya aku melihat ruangan di dalamnya. Perabotannya berdebu. Dilemari tertata hiasan keramik dan piala-piala beraneka bentuk dan ukuran. Didinding terpasang banyak sekali foto-foto yang terlihat suram dan berdebu.

“Mbak dari mana?” Tanya Bapak itu.

“Oh, saya tinggal di rumah seberang itu, hanya sekedar main kesini. Mengunjungi tetangga” jawabku sambil sesekali melihat kesana kemari, mencari temanku tadi. Timbul pertanyaan, mereka ini siapa? Dari mana?

“Oh, kita bertetangga rupanya.. Iya, kami memang jarang tinggal disini, mengingat pekerjaan saya yang harus keluar pulau bahkan keluar negeri.”

Istri si bapak itu masuk dan menemani kami duduk.

“Maaf, rumahnya kotor, tidak terawat. Kami berniat menjual rumah ini. Mungkin Mbak berminat?” Wanita itu ikut berbicara.

“Ah, saya belum mampu” kataku.

Tiba-tiba, mataku terpaku pada sebuah foto lusuh dipojok ruangan itu. Ya, itu kan foto temanku tadi.

“Pak, Bapak siapanya Mas Budi?”

“Lho, Mbaknya kenal Budi tho? Itu adik saya.”

“Kenal Pak, dia kakak kelas semasa SMA, bahkan tadi kami baru saja ngobrol bareng.”

“Ah, enggak mungkin Mbak. Budi nggak ada disini.” Bapak itu memandang istrinya, kemudian memandangku.

“Lho, tadi sebelum Bapak datang, saya menemaninya diteras.”

“Aduh Mbak… maaf ya, adik saya sudah meninggal. Sudah lama itu, 5 tahun yang lalu” Bapak itu mengecilkan suaranya.

“Hah??? Terus, tadi saya ngobrol dengan siapa dong Pak?”

Aku langsung lemas.

____________________________________


**Kompasiana, 14 April 2010

1 komentar: