Senin, 02 Januari 2012

satu


Lelaki di sudut kamar. Matamya nanar memandang layar didepannya. Begitu ramai suasana di hadapannya. Tersirat betapa hiruk pikuknya suasana kebersamaan. Di sana. Di dunia yang terpisah dari dimensinya. Tawa dan canda terus mengalir. Suara maya mendengung di telinganya. Senyum lebar nampak tergurat walau sebentar, rahang kokohnya lebih banyak mengatup. Membungkamkan bibir hitamnya membentuk lengkung sabit kecil. Sesekali diraihnya batang rokok yang terbakar,dihisapnya dalam-dalam, kemudian dihembusnya kuat-kuat.Asap terbuang membawa kedukaannya. Begitu yang diharapkannya. Berulang-ulang ia lakukan ritual itu. Sebagai pelipur sedih sepinya.  

Secangkir kopi dingin teronggok di samping laptopnya. Sedikit air dan ampas yang bersisa. Ia tengok saat tangannya meraih cuping cangkir tadi. Sedikit mendengus, ia membuang nafas. Ia bangkit sambil membawa cangkir tadi. Menuju sudut lain di ruangannya. Dengan gerakan cepat tersaji satu cangir kopi panas lagi. Dengan berjingkat ia melangkahkan kaki, ke sudut dunianya. Memasuki keramaian huruf dan warna, membaur dengan segala tawa dan canda semu.

Kembali tatapannya menyatu dengan layar didepannya. Bermain bersama kata dan kalimat yang terluncur didepannya. Walau begitu, hatinya tetap berontak tanpa pernah dia tahu sebabnya. Pikirannya seakan tak mengijinkannya untuk berpaling dari sesuatu, atau mungkin seseorang.  Kenangannya meliar ke waktu-waktu silam, tanpa pernah bisa ia kendalikan.

“Ah... jangan kau kembalikan dulu ingatanku padamu!” ia mendesis.  Membanting mouse yang dipegangnya sejak tadi ada dalam genggamannya.

Tapi otak dan mulut kadang tak sinkron. Keinginan dan kenyataan sering berlawanan. Semakin ia mengibaskan ingatan itu, semakin dalam terkuak lubang memori itu. Dan kelebat itu semakin menjadi-jadi, seakan hadir tepat di depan matanya. Lengkap dengan harum tubuh dan semua detil tentangnya.

Velia, sosok itu bernama Velia. Dia seperti ada dan tiada.  Lelaki itu menganggapnya tiada, walau  batinnya masih menganggap ada.