Selasa, 20 Desember 2011

Never Ending Love

Judul: Never Ending Love

Genre: Roman Kehidupan

Tema Januari 50K: 

Premis:


Tokoh:


Setting:
(a) Tempat menulis: Blog pribadi, Laptop, Hape, kertas, dll. 
(b)Waktu menulis: pagi, siang, sore, malam, subuh.


Mood: tidak dipakai.


Alur cerita: Maju  mundur.


Awal: Persiapan penulisan, diskusi-diskusi.


Isi Cerita: bla bla bla


Ending: WIN! atau OOPS

Selasa, 15 Februari 2011

Berjalan Bersamanya

Kulit putihnya semakin bersinar dalam bebatan gaun pengantin putih gadingnya. Gaun dengan potongan yang sederhana itu justru terlihat mewah ditubuhnya. Bahan silk dipadu brokat yang tidak terlalu ramai, dengan sedikit berpayet, tetap berkilau indah dimataku.

Belum lagi wajah manisnya yang dipoles bedak dan blush on warna cream, eye shadow yang tidak terlalu kontras dan polesan warna peach dibibir indahnya. Terlihat sangat sempurna, bagi mataku, dan aku berharap demikian juga bagi siapa saja yang nantinya akan melihatnya.

Ah, rasanya aku sudah tidak sabar lagi menanti saat itu tiba, yang sebetulnya hanya tinggal hitungan menit saja. Saat dia akan berjalan dengan anggunnya, menuju altar kebahagian. Tempat berikrar janji sehidup semati yang pastinya saat ini telah diperindah dipenuhi dengan rangkaian mawar putih dan baby breath.

Dan kemudian, ketika momen-momen itu mengalir, sampai pada satu prosesi, dimana mempelai pria akan memberikan kecupan pertamanya pada mempelai wanita yang sudah resmi menjadi istrinya itu… ah .. mengapa tiba-tiba aku merasakan sakit yang luar biasa? Bukankah tadi aku begitu menanti-nantikannya? Menyaksikan kebahagiaan terpancar dari binar cantik matanya adalah impian terbesarku..

Bibirku bergetar. Bagaimana bisa aku mengabaikan semua perasaanku ini? Hatiku sedikit menjerit, pertanda aku belum bisa berdamai dengan kenyataan. Mungkin hanya perlu keikhlasan yang lebih dari sekedar ingin membahagiakan dirinya. Aku mencintainya. Aku mencintainya dan ingin membahagiakannya.

Waktunya sudah tiba, sosok anggunnya melangkah menuju altar didampingi sang ayah.

Today, I will walk with my hands in God….

Today, I will trust in Him and not be afraid…

Sayup-sayup kudengar lagu pengiring itu. Seketika kehangatan menjalari sendir-sendiku, hatiku diliputi rasa damai. Rasa yang kemudian membuat hatiku yang kecil ini serasa menjadi ringan dan lapang. Sebegitu lapangya sehingga membuat diriku terasa bebas merdeka. Sedemikian ringannya serasa diri ini siap terbang lepas. Senyumku memancar begitu tulus, aku merelakannya, aku merelakannya, memasuki gerbang cinta ini, bersamanya, pria berjas hitam itu, yang sejak tadi sudah menantikanmu dengan tidak sabar.

Selamat tinggal cintaku. Aku tak memerlukan lagi cintamu, karena cintaNya telah memanggilku. Sekarang aku siap berjalan bersamaNya, berpegangan pada tanganNya yang kokoh. Doakan kedamaian untukku.

**Kompasiana, 14 Februari 2011

Kepada Ytk: Ibu

Bu, aku tidak pernah mengenalmu.

Walau aku mengerti betul bentuk wajahmu, cantik auramu, dan ikal rambutmu, tapi aku tidak tahu sabun apa yang kau pakai untuk mandi, apakah shampoo kita sama, dan apa warna kesukaanmu.

Yang aku tahu dari cerita ayah, kau memang cantik, teramat sangat cantik, sehingga ayah selalu cemburu padamu. Maaf Bu, aku belum sempat menanyakannya padamu tentang hal-hal kecil itu.

Kau juga tidak pernah dengar ceritaku Bu, bagaimana aku menghadapi haid pertamaku. Yang membuat jantungku berdebar karena takut. Takut yang belum tahu sebabnya. Ya, aku belum pernah mendapat penjelasan apa-apa tentang hal ini.

Mestinya akupun curhat padamu, saat pertama kalinya aku merasa kebingungan yang tiba-tiba. Tiba-tiba saja ingin bertemu dengan seseorang yang membuatku berdebar-debar, perut mulas, dan berkeringat dingin. Ingin rasanya aku mengeluarkan perasaanku dengan bercerita denganmu. Namun itu tidak pernah kulakukan.

Sepertinya adalah hal yang membahagiakan, melompat bersama saat aku dinyatakan lulus sebagai sarjana. Tapi yang terjadi, aku hanya diam menunduk. Mengingatmu.

Aku juga merasa bersalah, belum pernah membelikanmu barang yang kau inginkan, saat aku menerima gaji pertamaku. Menraktirmu makan malam, makanan kesukaanmu, yang aku sendiri tak pernah tahu. Bahkan, belanja bersamapun tidak pernah aku alami sensasinya.

Sifatku menjadi sedikit tertutup dan kaku saat menghadapi seorang wanita baya, calon ibu mertuaku. Ya, aku belum pernah dewasa bersama seorang ibu. Aku tidak tahu harus berbuat apa, Bu. Aku tidak bisa berbasa-basi. Kalau sudah tidak ada pembicaaan, lebih banyak tutup mulut. Karena bagiku, seorang ibu adalah sosok misterius. Aku tidak mengenalnya.

Kemudian upacara pernikahan adalah hal yang paling menguras air mata. Saat diri bersujud mengikrarkan janji setia, doa dan restumulah yang selalu kunantikan. Sungkem sebagai tanda sembah baktiku pun tak pernah sampai kepadamu.

Sekarang aku sudah menjadi ibu, dari seorang anak yang adalah cucumu. Semoga dia lebih beruntung dariku. Aku ingin mengerti perasaan seorang anak terhadap ibunya. Dan aku juga ingin menjadi ibu yang mengenal anaknya.

Selamat Hari Ibu… untukmu Ibu, yang selalu dekat dihati. Walau aku merasa tak pernah dekat denganmu. Tenang dan damailah engkau bersamaNya. Doa kami selalu menyertai istirahat panjangmu.

**Kompasiana, 22 Desember 2010

-Mengenangmu, 6 tahun silam.

Teringat Nasehat Ibu

“Bu, nanti aku dibelikan baju princess warna putih ya, biar aku secantik Cinderella.”

“Iya sayang, Tapi jangan nakal ya, khan kalau kamu tidak nakal, walau tanpa baju princess pun, kamu akan kelihatan cantik.”

“Bu, jangan lupa sepatu kaca ya. Biar aku semakin anggun”

“Asal kau rajin berbagi, sebab dengan begitu, tanpa sepatu kacapun kau terlihat anggun”

“Ada lagi Bu, aku mau dibelikan buku yang banyak. Biar aku semakin pintar.”

“Maka rajinlah mempelajari dan memahami, tentu kau akan pintar.”

Nina mengembalikan boneka-boneka ke kotaknya. Ayahnya terharu, menyaksikan dari balik pintu, memegang sepucuk surat lusuh tertanda mendiang istrinya.***

**Kompasiana, 20 Desember 2010

Gara-Gara Bola: Komentator Rumpi

“Wah, memang si Irfan hebat ya. Diusia yang masih muda sudah bermain dengan gemilang. Padahal ya, dia itu dulu pernah luntang-lantung lho, ditolak dari kesebelasan ini dan itu. Eh, sekarang malah jadi bintang.”

“Jangan salah, si Gonzales juga nggak kalah hebat loh. Dua kali malah dia membawa kemenangan timnas. Iya nggak? Dua kali lawan Filipina, ya si Gonzales itu yang buat gol. Pokoknya favoritku ya si Gonzales.”

“BePe tuh ya, walau sudah nggak sekenes dulu, tapi masih tangguh lo. Ya, mungkin karena faktor usia saja sih dia agak melorot. Memang sekarang jamannya si Irfan sama Gonzales.”

“Aduuuuh… kalo sayamah, teuteup Kang Maman atuhlah si jagoan. Gak ada yang ngalahin pokonamah”

Seorang bapak celingak-celinguk sambil membuka tudung saji tanpa isi di rumahnya yang sepi.

**Kompasiana, 20 Desember 2010

Waktu Kerja

06.00

Hmmm .. hari baru diminggu yang kesekian… Aaah… bersiap-siap merapikan diri. Mandi dan keramas bisa membuat badanku segar menghadapi kesibukan berat hari ini.

Err… rasanya kumis dan cambangku terlalu cepat bertumbuh. Baru kemarin kucukur, hari ini sudah terlihat membiru. Yap.. cukur kumis dan cambang, biar terlihat semakin muda dan klimis.

Istriku memang hebat, dia selalu menyiapkan setelan paling cocok untuk setiap harinya. Sesuai dengan irama mood dan kesibukan hari demi hari. Seperti pagi ini, dia menyiapkan kemeja wana maroon, dengan dasi salur warna maroon dan biru dongker. Terlihat semakin gagah dan berwibawanya diriku.

07.00

Sarapan juga adalah hal yang tak pernah kulewati. Istriku selalu mempersiapkan pagi dengan secermat mungkin. Masakannya yang lezat dan bergizi, membuatku penuh energi dan semangat. Tentunya hari yang penuh kesibukan harus diimbangi dengan vitalitasku.

Huff… memang, hari ini banyak sekali agenda yang sudah tersusun, seperti kata sekertarisku, Ina, aku akan banyak sekali menghadapi client penting. Juga appointment dengan beberapa customer penting perusahaan. Yah, Ina memang sekertaris yang pintar. Dia atur jadwalku sedemikian rupa, sehingga tidak terkesan bertumpuk-tumpuk. Padat namun mengalir.

08.00

Kukenakan jasku, keluar dari mobilku sembari menenteng tasku. Ohhh… hari ini begitu menyenangkan. Tanpa beban rasanya aku melangkah diiringi sapa hormat karyawanku. Aku memang selalu awal tiba dikantor. Ini agar menjadi teladan bagi karyawanku untuk tidak datang terlambat.

Aku merasa yakin dengan hari ini. Diantara jadwal padatku, hari ini aku menyempatkan diri untuk makan siang bersama istriku. Ina sudah mengatur segalanya. Benar-benar aku menikmati segla kesibukanku.

Aku bersiap memasuki ruanganku. Tasku kuletakkan disamping meja besarku. Aku mematut-matut diriku… Dasiku sepertinya agak miring. Kubuka dulu jasku, jepit dasi kulepas, dan kubetulkan letak dasiku. Kurapikan dan …

“Dog ..dog ..dog!!! … suara pintu diketuk dengan kejam.

Aku terkejut. Siapa yang berani mengetuk pintu ruanganku demikian kerasnya.

Pintu terkuak…. Sebentuk kepala mungil muncul dari balik pintu, sembari senyum lebarnya memperlihatkan giginya yang ompong.

“Kakeeeeek… katanya mau antar Dimas main sepeda di taman.. Ayo dooong Kek!”

Ups… aku tergeragap. Dasi maroonku masih ditangan, dengan bersarung dan kaus singlet saja, aku mematut-matut didepan cermin. Tersipu dengan panggilan cucu kesayanganku, Dimas.

Ya ..ya… aku berjanji mengantanya bermain sepeda hari ini.

**Kompasiana, 31 Desember 2010

Tuan Dan Nyonya

“Ma, Papa pulang agak malam. Ada meeting dengan buyer. Papa belum bisa antar Mama ke dokter sekarang.” SMS dari tuan besar untuk nyonya.

“Ya sudah Pa, Mama ke dokter sendiri, biar dianter si Bardi.” Balasan SMS nyonya.

“Min, suruh si Bardi siap-siap. Saya mau ke dokter sekarang.” Teriakan nyonya mengagetkanku yang sedang merapikan tempat tidur besarnya.

Aku berlari menuju ruang belakang.
“Kang, nyonya mau ke dokter. Akang diminta antar dia.”

Bardi mengangguk sambil matanya menatapku tajam. Aku begitu merindukannya, menantikannya mengucapkan kata-kata itu.

Duh, Kang.. kapan kita menikah? Sudah 2 tahun kita pacaran. Sejak aku jadi pelayan di rumah mewah ini, dan kamu jadi sopir tuan dan nyonya.

***

“Min, nyonya sudah berangkat?” Tiba-tiba tuan besar muncul dihadapanku.
“Baru saja berangkat.” Jawabku yang langsung disambut dengan pelukan eratnya. Wajahku dihujani dengan kecupan mesranya. Sedetik kemudian kamipun bergumul dalam gelora membara.

***

“Bardi, hilangkan segala kegusaranmu itu. Biarkan mereka mereguk madu manis itu. Kita juga sedang menikmatinya bukan”? Kepala nyonya disandarkan ke dada Bardi, sambil tangannya mengelus perutnya yang membuncit.

___

Repost dari Ubud Writers Festival, dalam rangka meramaikan FF di Rangkat

**Kompasiana, 8 Desember 2010

Lelaki Itu

Kulit kusamnya berpeluh dan berdebu. Tubuh kekarnya berbalut kaus oblong putih yang sudah menjadi krem. Dari ujung gang dia berjalan cepat, masuk ke sebuah rumah kecil di seberang jalan ini. Wajahnya memang asing. Tapi aku tahu siapa dia. Seorang yang sedang dikontrak sebagai borongan pada salah satu perumahan baru. Hanya tinggal sendirian saja di rumahnya yang kecil dan kumuh itu.

Bukan itu saja, aku juga mengetahui setiap detil perjalanan hidupnya. Tentu informasi yang terbukti kebenarannya, dan kudapat dari seseorang yang benar-benar terpecaya.

Ya, lelaki itu pada masa mudanya adalah seorang yang gagah rupawan. Ini yang tak terekam pada jejak dan raut mukanya kini. Begitulah, dia menjadi seorang yang digilai banyak wanita. Namun hatinya hanya tertuju pada seorang kembang desa, Maryamah.

Ada cinta tumbuh dihati mereka, mendalam. Namun menjadi terlarang karena tidak disetujui orang tua Maryama. Mereka sudah mempunyai calon untuk menjadi suami Maryamah.

Atas dasar cinta yang kuat dan berjanji sehidup semati, mereka menjadikan hubungan ini terlarang. Maryamah mengandung. Seiring dengan membuncitnya perut, si lelaki itu tiba-tiba menghilang. Lenyap ditelan senyap. Maryamah sedih, hampir saja bunuh diri. Orang tuanya dengan memaksa menikahkan Maryamah dengan lelaki pilihan mereka.

Bisa dibayangkan rumah tangga seperti apa yang dijalani Maryamah. Sang suami ternyata berperangai kasar, apalagi merasa diatas angin.

Kekerasan mewarnai kehidupan mereka. Sampai puncaknya, Maryamah harus menghadap Sang Pencipta, disaat putri mereka berumur 5 tahun. Sang suami pun ditahan.

Hff…. Aku menghela nafas. Membayangkan kisah hidup yang suram ini. Apakah lelaki itu pernah mencari tahu kabar Maryamah? Aku mengetahuinya.Apa mungkin perlu kuberitahu?

Aku masih duduk di bangku kayu warung sederhana ini. Dari dalamnya bisa kulihat rumah lelaki itu, persis di seberang jalan. Ingin sekali kudatangi rumah itu, mengeuk pintunya dan mengatakan

“Ini aku, Ratri, putri tunggal Maryamah, kekasih yang kau campakkan.. Pak!”

Dengan berat kulangkahkan kakiku… kemana? Aku sendiri tak tahu arah mana yang akan kutuju.

**Kompasiana, 3 Desember 2010

Tentang Rasa Ini

Melihat mereka berduaan selalu membuatku muak. Seperti tidak ada hal penting lain yang bisa mereka lakukan selain bermesra-mesraan. Ya, pasangan paling romantis itu, menurut orang lain sih, kerap datang di taman ini, seperti membuntutiku.

Aku sudah berusaha mencari tempat yang paling damai, di sebuah bangku tua dekat pohon besar, dekat sebuah sumur tua. Bagi kebanyakan orang, tempat ini begitu suram, gelap. Tapi buatku paling indah, apalagi untuk menyembunyikan diri dari lirikan atau tatapan aneh yang seperti menghujam ke ulu hatiku..

Tapi, kenapa mereka seperti tidak tahu, kalau itu singgasanaku? Mereka menempati bangku yang bersisian dengan bangku yang kutempati untuk membaca dan menghabiskan waktu.

Selalu begitu keadaanya, dan selalu aku yang terpojok. Tidak mungkin aku mencari tempat lain. Dan dengan terpaksa tentunya aku menyaksikan drama percintaan ini setiap saat. Huh, sial!

Suara manja yang mendayu-dayu bersahutan suara bariton, menusuk-nusuk ditelingaku. Entah mereka membicarakan apa saja. Aku seperti tidak mengerti bahasa mereka. Yang kuinginkan sebenarnya hanyalah tidak ingin mendengar apa-apa. Tapi telingaku belum tuli. Huh!

Dan lagi-lagi, buku yang kubaca menjadi kosong tanpa isi. Otakku hanya berputar-putar pada pemikiranku sendiri. Ah seandainya.. Ya, seandainya, ada banyak andai-mengandai menguar dari kepalaku.

Sebetulnya, bukan benci yang keluar dari hatiku. Hanya perih dan luka akibat cemburu. Cemburu karena merasa tak mampu menjadi seperti si wanita itu, yang selalu bergelayut manja padanya.,yang selalu dibelai tangan kekarnya. Apapun yang dilakukan si wanita itu selalu indah ditatap olehnya. Selalu bisa membuatnya tersenyum dan tertawa.

Aku menjerit dalam hati… Mestinya itu aku, yang membuat dirinya tertawa bahagia. Mestinya itu aku yang membuatnya mabuk asmara. Dan di taman ini juga mestinya kami selalu berkencan, saling bertemu melepas rindu.

Rasanya aku ingin menangis. Ya, semua begitu indah, seandainya aku tidak terlalu gembira. Berlari-lari bagai anak kecil mendapat permen, saat dia mengucapkan ikrar sehidup sematinya. Sumur tua menarikku kedalamnya. Meninggalkan cintaku yang membahana.

Aku pernah mencintai lelaki itu, dulu, pada dimensi yang sama dengannya.

***

**Kompasiana, 30 November 2010

Dia

Dia ada dihadapanku. Tertawa menyeringai. Tapi aku sungguh tidak mengerti apa yang lucu baginya.

“Ada apa kamu tertawa? “

Dia tidak menjawab. Hanya tertawa.

Aku heran. Padahal setahuku dia baru saja terkena masalah, lebih tepatnya musibah.

“Apakah ada yang lucu?”

Dia semakin terbahak dengan tawanya.

Aku geram. Kenapa dia bisa begitu gembira, sedangkan suami dan anaknya sekarang entah dimana?

Aku sangat tahu. Dulu dia hidup berbahagia. Bergelimang dengan harta dan kasih sayang suaminya. Anak lelaki tunggalnya pun sudah berhasil menjadi sarjana. Namun bahagianya bersanding tipis dengan kekacauan rumah tangganya.

Kejadian seminggu yang lalu telah membuktikan bahwa cinta dan kesetiaannya sia-sia. Dengan dalih tidak ada kecocokan lagi, suaminya berhasil memasukkan orang ketiga dalam kehidupannya. Menjadi semakin parah manakala si orang ketiga adalah mantan kekasih putra tunggalnya.

Para lelaki tersebut bersitegang. Amarah dan benci menjadi letupan dahsyat perseteruan mereka. Dan setanpun tertawa menyaksikannya manakala si orang ketiga melepas ajal ditangan sang mantan.

Dia dihadapanku. Tertawa semakin terbahak.

“Hei, putramu dibui kau malah tertawa. Suamimu menghilang ditelan senyap kau malah bahagia.” Aku menghardiknya.

Dia tertawa keras, sampai-sampai air matanya mengalir. Aku tersinggung, seakan-akan aku melakukan hal yang konyol dan menggelikannya. Namun semakin aku mengingatkannya, semakin keras tawanya.

Kegeramanku memuncak. Pandanganku gelap. Dalam meraba, hanya sepatuku yang teraih.

“Prang……!”

Serpihan cermin berhamburan. Dihadapanku hanya tembok putih kusam yang menertawaiku.

**Kompasiana, 1 Oktober 2010

Seyummu Merontokkan Jantungku

Kulit mulus tanpa jerawat. Tak berbulu tak berkumis, bersih. Rahang kokoh menopang wajah manis bermata teduh. Postur yang tinggi dan tegap. Dari wajah sampai bodi sebelas duabelas dengan Lee Min Hoo, tahukan siapa dia….

Sedikit grogi saat matanya bertumbukan dengan mataku. Hmm, kopiku terasa pahit, entah kurang gula, entah rasaku sudah tak karuan karena sosok diseberang mejaku ini. Semilir AC di café ini sudah tak terasa, berganti hawa gerah.

Duh… semakin grogi diriku, saat senyumnya yang menawan mampir menghampiri pandanganku. Mataku menyapu seluruh ruang. Tapi sepertinya hanya aku satu-satunya wanita muda dan sendiri. Di pojok kiri ada sepasang manula yang tetap eksis memperlihatkan kemesraannya. Di sebelah kanan mejaku duduk 2 pasang pengusaha paruh baya sedang berbisnis.

Kali ini dia mengerlingkan matanya. Ampun deh.. kenapa jantungku mendadak dag dig dug serrr?

Kusibakkan rambutku dengan gaya anggun, agar terlihat seksi. Tanganku tak henti-hentinya memencet-mencet handphone yang sudah off sejak tadi karena low bat. Hanya mencari kesibukan untuk menghilangkan grogi yang semakin menjadi.

Tiba-tiba lelaki itu berdiri, berjalan kearahku. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya.

Jantungku berdegup kencang… oh toloooong, kenapa aku seperti kehabisan nafas?

Hampir sampai, jarak setengah meter didepanku, aku menutup mata… dag dig dug semakin kencang.

Seperti ini lho senyum mautnya :-D

Oh.. dia melewatiku. Menghampiri lelaki brewok dibelakangku, saling berciuman pipi.

Jantungku rontok….. hatiku luluh lantak, tercecer dilantai café yang dingin.

**Kompasiana, 28 Juli 2010

Menuju Senja

Mata bening itu menitikkan bulir indahnya. Dalam balutan gaun putih panjangnya, dia memandangku. Bibirnya bergerak-gerak namun tak terdengar sesuatu olehku.

“Putriku, kau ingin bicara apa sayang?”

Dia bagaikan putri yang dikelilingi awan yang empuk dan halus. Tangannya melambai kepadaku. Matanya menatapku. Kosong.

“Kau mau kemana putriku? Ibu tidak ingin kehilanganmu!” Aku menjerit.

Sesosok putih bersinar melayang, berdiri ditengah kami. Memandangi kami berdua silih berganti. Lalu ia mengepakkan sayapnya dan menggamitku. Aku ringan dan terbang bersamanya.

Langit menjadi senja. Seorang gadis kecil dalam pangkuan ayahnya keluar dari kompleks pemakaman.

**Kompasiana, 27 Juli 2010
Sekarang waktu kita untuk berdampingan

Saling berpegangan melawan rasa

Memohon pada sang detak

Sejenak membiarkan detiknya

Terpasung dalam bahagia abadi

Karena … sesaat lagi

Waktumu bukan milikku lagi






Dalam hatimu yang beku

Kutitipkan setitik kehangatan cintaku

Yang akan selalu menemanimu

mengembara menghadap Sang Khalik






Selamat mengarungi ruang kehidupan baru

Kan kuluangkan segenggam rindu

Diujung biru hatiku

Yang akan selalu tertutup rapat

Karena kau saja

Yang dapat membukanya





———————-

* Untuk seorang sahabat (maaf kalo puisinya masih jelek)

** Terinspirasi dari kisah sedih di Cina, Zhuang Huagui (26 tahun) yang berencana menikah pada tanggal 4 Februari 2010. Tetapi pada tanggal 28 Januari 2010, calon istrinya, Hu Zhao’e meninggal karena ditusuk oleh perampok dirumahnya. Zhuang memutuskan untuk tetap mengadakan upacara pernikahan, yang dilanjutkan dengan upacara pemakaman bagi istrinya, Hu Zhao’e.

*** Foto-foto dari milis

Tetanggaku, Mantanku.

Sudah tiga bulan aku mengontrak dirumah ini. Namun baru kali ini aku sempat memperhatikan lingkungan sekitarku, khususnya diwaktu malam. Rumah kontrakanku berseberangan dengan sebuah rumah sedikit lebih mewah dari rumah sekitarnya, dengan rel kereta api yang menjadi pembatasnya. Tembok dan halaman yang kurang terawat dengan pencahayaan yang remang-remang menjadikan rumah itu agak-agak “horror” bagi yang melintas didepannya.

Malam itu, sepulang dari kantor dan bebenah, aku melihat seseorang keluar dari rumah itu. Seorang lelaki kurus tinggi, dengan kulit warna pucat berbalut kemeja kotak-kotak dan syal, duduk diteras sambil minum secangkir entah kopi atau teh. Tatapan mata kami sempat bertemu, dan, ah …. Aku seperti mengenal orang itu. Tidak salah lagi. Segera kudatangi dia …

“Ini beneran Mas Budi? Ya ampuuuun!” Antara kaget dan gembira aku menyalaminya.

Lelaki itu tersenyum, tapi tidak nampak kaget. Wajahnya biasa saja.

“Apa kabar Mei?”

“Aku .. kabarku baik. Mas tinggal disini tho?”

Lelaki itu hanya mengangguk sambil senyumnya tak pernah lepas menghias wajah pucatnya.

Kamipun berbincang lama diteras rumahnya. Tapi sepertinya aku yang lebih banyak berbicara, lelaki itu hanya sekali-sekali menimpali, dengan senyum tentunya.

Waktu menunjukkan pukul 21.05 saat aku pamit pulang. Malam itu, aku tidak bisa langsung terlelap. Ingatan akan pengalamanku dengannya 6 tahun yang lalu berseliweran dikepalaku. Bisa dibilang, dia itu teman special. Sempat menaruh hati padaku, tapi aku jual mahal.

Setelah peristiwa semalam, beberapa malam kami sempat bertemu dan berbincang, dan selalu aku yang banyak bicara. Sampai pada malam ketujuh, saat aku mendatangi terasnya, tiba-tiba dia pamit sebentar masuk kedalam rumahnya. Aku menunggu diteras sambil memperhatikan keseberang jalan, tempat kontrakanku. Ternyata dari sini terlihat jelas ruang tidurku. Ups… moga-moga aku belum pernah lupa menutup tirai saat berganti pakaian.

Lewat setengah jam, dia belum keluar juga. Aku sudah akan berteriak untuk pamitan saja, tiba-tiba sebuah mobil kijang Inova masuk ke halaman. Dari dalamnya keluar seorang bapak setengah baya, bersama istri dan kedua anaknya. Bapak itu tersenyum kearahku, akupun membalas senyumnya.

“Mari, silahkan masuk!” Sapanya ramah. Aku kikuk.

Istrinya terlihat angkuh, tanpa senyum dia mengambil kunci dan membuka rumah tersebut. Mereka semua masuk kedalam.

“Mari, silahkan menunggu didalam saja” Bapak itu kembali menawariku.

Akupun masuk ke dalam rumah itu. Ini pertama kalinya aku melihat ruangan di dalamnya. Perabotannya berdebu. Dilemari tertata hiasan keramik dan piala-piala beraneka bentuk dan ukuran. Didinding terpasang banyak sekali foto-foto yang terlihat suram dan berdebu.

“Mbak dari mana?” Tanya Bapak itu.

“Oh, saya tinggal di rumah seberang itu, hanya sekedar main kesini. Mengunjungi tetangga” jawabku sambil sesekali melihat kesana kemari, mencari temanku tadi. Timbul pertanyaan, mereka ini siapa? Dari mana?

“Oh, kita bertetangga rupanya.. Iya, kami memang jarang tinggal disini, mengingat pekerjaan saya yang harus keluar pulau bahkan keluar negeri.”

Istri si bapak itu masuk dan menemani kami duduk.

“Maaf, rumahnya kotor, tidak terawat. Kami berniat menjual rumah ini. Mungkin Mbak berminat?” Wanita itu ikut berbicara.

“Ah, saya belum mampu” kataku.

Tiba-tiba, mataku terpaku pada sebuah foto lusuh dipojok ruangan itu. Ya, itu kan foto temanku tadi.

“Pak, Bapak siapanya Mas Budi?”

“Lho, Mbaknya kenal Budi tho? Itu adik saya.”

“Kenal Pak, dia kakak kelas semasa SMA, bahkan tadi kami baru saja ngobrol bareng.”

“Ah, enggak mungkin Mbak. Budi nggak ada disini.” Bapak itu memandang istrinya, kemudian memandangku.

“Lho, tadi sebelum Bapak datang, saya menemaninya diteras.”

“Aduh Mbak… maaf ya, adik saya sudah meninggal. Sudah lama itu, 5 tahun yang lalu” Bapak itu mengecilkan suaranya.

“Hah??? Terus, tadi saya ngobrol dengan siapa dong Pak?”

Aku langsung lemas.

____________________________________


**Kompasiana, 14 April 2010

Tahukah Kau?

Tahukah kau,

Bulan dan Bintang ditakdirkan untuk bersama

Dan Matahari adalah kawan seperjuangan dalam masa yang berbeda

Seperti juga halnya,

Bunga dan kupu-kupu bersejoli

dalam naungan Pohon yang rindang

namun tak pernah mereguk manisnya madu.

Tahukah kau,

Hujan dan Pelangi adalah kesedihan dalam harapan

sesekali petir menerangi dan guruh memekakan

namun semuanya mendendangkan irama harmoni

Tahukah kau,

itulah cintaku padanya

yang terlindung dalam damaimu

**Kompasiana, 25 Februari 2010

Minggu, 13 Februari 2011

Dia Yang Tak Pernah Kukenal

Aku baru saja menapakkan kakiku, kembali kekota itu. Sudah berapa lama aku tidak pernah mengunjunginya. Dan kini, diantara kesibukanku, aku memaksakan diri untuk sekedar mencari kabar dan bercakap-cakap walau hanya dalam hitungan menit.

Aku tak tahu apakah dia masih mengenaliku. Mungkin sudah banyak perubahan pada penampilanku. Jauh berbeda dengan saat aku pertama mengunjunginya.

***

Di pasar Beringharjo yang ramai, walau waktu masih menunjukkan pukul 3 dini hari, delapan belas tahun yang lalu. Aku bersama seorang teman berkeliling mengitari pasar. Niat kami mencari informasi yang dibutuhkan untuk tugas lapangan. Saat itu kami sedang mengikuti pelatihan jurnalistik..

Entah apa yang akan kami cari sebagai bahan tulisan kami. Kami hanya memandangi para wanita-wanita perkasa, yang bertugas sebagai kuli angkut dan bongkar muat pasar.

Tiba-tiba aku sadar telah terpisah dari temanku. Aku yang seorang pendatang, dengan keterbatasan bahasa, hanya bisa bingung kesana-kemari. Seorang diri diantara orang-orang yang tak kukenali hamper membuatku putus asa. Sanpai-sampai ada orang iseng yang “menawarku” segala. Wajarlah, gadis keliaran malam-malam disangka menjajakan diri. Untunglah ada seorang wanita tua penjaja gula merah yang sejak tadi memperhatikanku. Dia mengatakan kepada orang iseng tersebut kalau aku itu cucunya. Orang tersebutpun pergi sambil bergumam tak jelas.

Wanita tua itu menanyakan keadaanku dalam bahasanya yang khas. Aku terbata-bata menjawabnya.

Aku duduk sambil nyeruput teh yang ditawarkan padaku, memperhatikan wanita tua itu berjualan. Saat itu sudah pukul 5 pagi. Semakin banyak orang berbelanja, baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk warung atau usaha lainnya. Lama-lama, aku tidak bisa berdiam diri, sambil sesekali berbincang dan bercanda, walau dengan dialek yang berbeda, aku ikut membantunya, menimbang dan membungkuskan gula merah untuk para pembeli yang semakin banyak.

Tanpa terasa aku merasa begitu dekat dengan sosoknya, dibalik kesederhanaannya ada kesahajaan yang memancar. Terasa hangat olehku. Seakan aku sudah mengenalnya sebelum ini.

Tiba-tiba aku melihat temanku berjalan diantara orang-orang yang lalu lalang. Saat itu waktu menunjukkan pukul 7 pagi. (Wah ternyata, aku belum mandi… ). Akupun berlari menghampiri temanku. Kemudian kami berpamitan. Wanita itu tersenyum menyalami aku dan memelukku lama sekali. Sempat kaget karena tidak terpikir akan sedemikian sambutannya.

***

Di lorong pasar Beringharjo yang kini tampak lebih modern, aku mencari-cari diantara kios-kios yang ada. Bertanya kesana kemari akhirnya aku mendapatkan jawaban.

Wanita tua itu sudah lama tidak berjualan di pasar. Dari cerita yang simpang siur aku mendapat kesimpulan, sehari setelah bertemu denganku, putri satu-satunya tewas tertabrak truk pengangkut saat akan membantu berjualan. Sejak saat itu dia sakit jiwa, setiap hari kerjanya berkeliling pasar. Hanya berjalan.

Aku berniat pulang saat kami saling berhadapan. Pakaiannya kumal, tubuhnya bungkuk dan renta. Rambutnya gimbal. Dia sama sekali tak peduli dengan sekelilingnya. Dan akupun hanya memandangnya.

Dalam gelisah malam, kulihat sekelebat sinar dari matanya. Entah memancarkan kekecewaan atau kesedihan. Yang kutahu dari sosoknya, dengan badan membungkuk, dia melangkah terseok. Berjalan menuju samar cahaya diujung pasar.

—————–

* Hanya sempat tuk diingat

*diposting di Kompasiana, 10 Februari 2010

Sang Lelaki Tangguh

Menangis …. hanya memeluk bundanya

Tertawa …. hanya berbagi dengan bundanya

Belajar …. hanya dari mulut bundanya

Tidur …. Hanya dalam dekapan bundanya

..Ayah..

Maaf, kata bundanya, tidak ada ayah untukmu, tapi bunda sanggup buatmu kelak menjadi lelaki tangguh.

Namun untuk saat ini, bundalah lelaki tangguhmu.

Bunda akan ajarkan bagaimana menangis dalam kesepian, saat kau pertama kali bersapa dengan dunia ini. Tanpa siapapun wahai sang pemberi semangat, agar kau menjadi lelaki yang kuat.

Bunda akan ajarkan bagaimana tertawa dalam ketawaran hati, saat kecemasan berpihak dan hanya sepi yang menggigit, agar kau tak pernah merasa sepi sendiri.

Bunda akan ajarkan padamu bahwa dunia tempat segalanya, namun surgalah semuanya tertuju, agar kau menjadi lelaki bermoral penuh hati nurani.

Bunda akan mendekapmu tidur sampai kau selalu merasa aman, agar kau menjadi lelaki penyayang yang selalu melindungi yang lemah.

Namun sekali lagi, tidak ada kata ayah untukmu, biarlah bunda saja yang menjadi lelaki tangguhmu. Agar kau mengerti bagaimana menjadi kuat dalam kelembutan.

~ dedicated to my lovely sister, thanks for the inspiration~

Suatu Waktu di Perempatan

Sudah berulang kali aku melihatnya, berdiri di pinggir jalan perempatan lampu lalin sambil berteriak-teriak tak jelas. Pakaian kumal dan topi coklat buluknya yang entah dulunya berwarna apa, tidak pernah lepas dari kesehariannya. Dengan tangan teracung ia mendekati satu persatu pengendara motor atau mobil diperhentian lampu merah sambil berteriak kacau “hatush!…. hatush!…”

Sudah berulang kali pula aku selalu menghindar dari colekannya. Bila lampu merah sempat memberhentikanku di perempatan itu, aku berusaha mengarahkan sepeda motorku ditengah2 pengendara yang lain agar sulit dijangkau olehnya. Entah kenapa, ada perasaan sebal dicolek-colek olehnya. Yang kutahu, bukan hanya aku saja yang berpikiran seperti itu. Makanya, ketika lampu merah berganti hijau, serentak semua melarikan diri.

Namun kali ini ada yang lain setiap kali aku melewati perempatan tersebut. Teriakan tak jelasnya tak terdengar, tangan teracungnya tidak terlihat dari kejauhan. Ada perasaan lega untukku saat harus dihentikan lampu merah.

Dua kali, tiga kali, terus berulang dan selalu seperti itu. Sampai suatu saat aku terhenti diperempatan itu, kudengar percakapan para pengamen pinggir jalan yang juga sering mangkal ditempat itu. Ternyata mereka sedang membicarakan si kumal tersebut.Saat ini ia tengah sakit parah. Hujan panas yang selama ini menemaninya menyebabkan fisiknya kian memburuk. Dan dengan kondisi mental yang terbelakang, ditambah keadaan ekonominya yang buruk tidak memungkinkan untuknya berobat.

Tiba-tiba saja ada perasaan iba meruak dalam hatiku. Setiap hari dia harus berdiri dipinggir jalan hanya memohon belas kasihan, meminta-minta uang seratus rupiah. Tapi mengapa aku merasa rugi kehilangan seratus rupiah dengan menghindarinya. Aku terus memikirkannya. Dan setiap kali melewati perempatan itu, aku menebarkan pandangan, berusaha mencari dan berharap melihatnya berdiri di pinggir jalan. Namun sosok kumal itu tidak pernah terlihat.

—————————————–

Sudah berulang kali aku melewat perempatan itu. Dan sudah berulang kali pula aku berharap melihatnya berdiri disana. Mengacungkan tangannya dan berteriak-teriak tak jelas. Tapi tidak berharap untuk dicolek-colek olehnya, hanya ingin tahu keadaannya saja.

Namun kali ini ada yang lain saat aku melewati perempatan tersebut. Si kumal itu berdiri disana, dengan pakaian kumalnya dan topi coklat buluknya. Dengan tangannya yang teracung mendekati satu persatu pengendara sambil berteriak kacau “mahatush! ….mahatush!”

Olala… sudah naik jadi limaratus rupiah.