Lelaki di sudut kamar. Matamya nanar
memandang layar didepannya. Begitu ramai suasana di hadapannya. Tersirat betapa
hiruk pikuknya suasana kebersamaan. Di sana. Di dunia yang terpisah dari dimensinya.
Tawa dan canda terus mengalir. Suara maya mendengung di telinganya. Senyum
lebar nampak tergurat walau sebentar, rahang kokohnya lebih banyak mengatup.
Membungkamkan bibir hitamnya membentuk lengkung sabit kecil. Sesekali diraihnya
batang rokok yang terbakar,dihisapnya dalam-dalam, kemudian dihembusnya
kuat-kuat.Asap terbuang membawa kedukaannya. Begitu yang diharapkannya. Berulang-ulang
ia lakukan ritual itu. Sebagai pelipur sedih sepinya.
Secangkir kopi dingin teronggok
di samping laptopnya. Sedikit air dan ampas yang bersisa. Ia tengok saat
tangannya meraih cuping cangkir tadi. Sedikit mendengus, ia membuang nafas. Ia bangkit
sambil membawa cangkir tadi. Menuju sudut lain di ruangannya. Dengan gerakan
cepat tersaji satu cangir kopi panas lagi. Dengan berjingkat ia melangkahkan
kaki, ke sudut dunianya. Memasuki keramaian huruf dan warna, membaur dengan
segala tawa dan canda semu.
Kembali tatapannya menyatu dengan
layar didepannya. Bermain bersama kata dan kalimat yang terluncur didepannya.
Walau begitu, hatinya tetap berontak tanpa pernah dia tahu sebabnya. Pikirannya
seakan tak mengijinkannya untuk berpaling dari sesuatu, atau mungkin seseorang.
Kenangannya meliar ke waktu-waktu silam,
tanpa pernah bisa ia kendalikan.
“Ah... jangan kau kembalikan dulu
ingatanku padamu!” ia mendesis. Membanting
mouse yang dipegangnya sejak tadi ada dalam genggamannya.
Tapi otak dan mulut kadang tak
sinkron. Keinginan dan kenyataan sering berlawanan. Semakin ia mengibaskan
ingatan itu, semakin dalam terkuak lubang memori itu. Dan kelebat itu semakin menjadi-jadi,
seakan hadir tepat di depan matanya. Lengkap dengan harum tubuh dan semua detil
tentangnya.
Velia, sosok itu bernama Velia. Dia
seperti ada dan tiada. Lelaki itu
menganggapnya tiada, walau batinnya
masih menganggap ada.